Selagi ada jedha waktu, ( setelah admin blog ini
bejibaku dengan hiruk pikuknya project UNAS 2013 dan sebelum
berkutat lagi dengan keribetan Project Kurikulum 2013 ), ingin menyapa
muslimin muslimat pemerhati blog kami ini,, juga menyambut Bulan Sya’ban dan Bulan
Suci Ramadhan, Ada sebuah tulisan yang menarik untuk disimak
***********************************************************************************************************************
“Marhaban Ya /sya'ban.”
Rasulullah
SAW bersabda,
”Bulan
Sya’ban adalah bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan
Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal.
Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan
sedang berpuasa.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i)
Marhaban
Ya /sya'ban.. Bulannya Rasulullah... Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
pengakuan Aisyah, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah berpuasa (sunnah) lebih
banyak daripada ketika bulan Sya’ban. Periwayatan ini kemudian mendasari
kemuliaan bulan Sya’ban di antar bulan Rajab dan Ramadhan.
Karenanya,
pada bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak berdzikir dan meminta
ampunan serta pertolongan dari Allah SWT. Pada bulan ini, sungguh Allah banyak
sekali menurunkan kebaikan-kebaikan berupa syafaat (pertolongan), maghfirah
(ampunan), dan itqun min adzabin naar (pembebasan dari siksaan api neraka).
Shaum di bulan Sya’ban
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan
beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak
pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali
Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan
Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956). Dan dalam riwayat Muslim No.1957
: ”Adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa pada bulan
Sya’ban semuanya. Dan sedikit sekali beliau tidak berpuasa di bulan Sya’ban.”
Sebagian
ulama, di antaranya Ibnul Mubarak dan selainnya telah merajihkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak pernah penyempurnakan puasa bulan
Sya’ban akan tetapi beliau banyak berpuasa di dalamnya. Pendapat ini didukung
dengan riwayat pada Shahih Muslim No. 1954 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
beliau berkata: “Saya tidak mengetahui beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan.” Dan dalam riwayat Muslim juga
No. 1955 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “ Saya tidak pernah
melihatnya puasa satu bulan penuh semenjak beliau menetap di Madinah kecuali
bulan Ramadhan.” Dan dalam Shahihain dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “Tidaklah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa asatu bulan penuh
selain Ramadhan.” (HR. Bukhari No. 1971 dan Muslim No.1157). Dan Ibnu Abbas
membenci untuk berpuasa satu bulan penuh selain Ramadhan. Berkata Ibnu Hajar:
Shaum beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam pada bulan Sya’ban sebagai
puasa sunnah lebih banyak dari pada puasanya di selain bulan Sya’ban. Dan
beliau puasa untuk mengagungkan bulan Sya’ban.
Dari
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu
berpuasa dalam satu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasanmu di bulan
Sya’ban.” Maka beliau bersabda: “Itulah
bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan merupakan bulan
yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin. Dan saya suka
untuk diangkat amalan saya sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” (HR.
Nasa’i, lihat Shahih Targhib wat Tarhib hlm. 425). Dan dalam sebuah riwayat
dari Abu Dawud No. 2076, dia berkata: “Bulan
yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa padanya adalah Sya’ban kemudian
beliau sambung dengan Ramadhan.” Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahih
Sunan Abi Dawud 2/461.
Berkata
Ibnu Rajab: Puasa bulan Sya’ban lebih utama dari puasa pada bulan haram. Dan
amalan sunah yang paling utama adalah yang dekat dengan Ramadhan sebelum dan
sesudahnya. Kedudukan puasa Sya’ban diantara puasa yang lain sama dengan
kedudukan shalat sunah rawatib terhadap shalat fardhu sebelum dan sesudahnya,
yakni sebagai penyempurna kekurangan pada yang wajib. Demikian pula puasa
sebelum dan sesudah Ramadhan. Maka oleh karena sunah-sunah rawatib lebih utama
dari sunah muthlaq dalam shalat maka demikian juga puasa sebelum dan sesudah
Ramadhan lebih utama dari puasa yang jauh darinya.
Sabda
beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam: “Sya’ban bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan”,
menunjukkan bahwa ketika bulan ini diapit oleh dua bulan yang agung –bulan
haram dan bulan puasa- manusia sibuk dengan kedua bulan tersebut sehingga lalai
dari bulan Sya’ban. Dan banyak di antara manusia mengganggap bahwa puasa Rajab
lebih utama dari puasa Sya’ban karena Rajab merupakan bulan haram, padahal
tidak demikian. Dalam hadits tadi terdapat isyarat pula bahwa sebagian yang
telah masyhur keutamaannya baik itu waktu, tempat ataupun orang bisa jadi yang
selainnya lebih utama darinya.
Dalam
hadits itu pula terdapat dalil disunahkannya menghidupkan waktu-waktu yang
manusia lalai darinya dengan ketaatan. Sebagaimana sebagian salaf, mereka
menyukai menghidupkan antara Maghrib dan ‘Isya dengan shalat dan mereka
mengatakan saat itu adalah waktu lalainya manusia. Dan yang seperti ini di
antaranya yang paling disukainya,yakni dzikir kepada Allah ta’ala di pasar karena itu
merupakan dzikir di tempat kelalaian di antara orang-orang yang lalai. Dan
menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan punya
beberapa faedah, di antaranya:
Menjadikan
amalan yang dilakukan tersembunyi. Dan menyembunyikan serta merahasiakan amalan sunah adalah
lebih utama, terlebih-lebih puasa karena merupakan rahasia antara hamba dengan
rabbnya. Oleh karena itu maka dikatakan bahwa padanya tidak ada riya’. Sebagian
salaf mereka berpuasa bertahun-tahun tetapi tidak ada seorangpun yang
mengetahuinya. Mereka keluar dari rumahnya menuju pasar dengan membekal dua
potong roti kemudian keduanya disedekahkan dan dia sendiri berpuasa. Maka
keluarganya mengira bahwa dia telah memakannya dan orang-orang di pasar
menyangka bahwa dia telah memakannya di rumahnya. Dan salaf menyukai untuk
menampakkan hal-hal yang bisa menyembunyikan puasanya.
Dari
Ibnu Mas’ud dia berkata: “Jika kalian akan berpuasa maka berminyaklah (memoles
bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan sedang berpuasa).” Berkata Qatadah:
“Disunahkan bagi orang yang berpuasa untuk berminyak sampai hilang darinya
kesan sedang berpuasa.”
Demikian
juga bahwa amalan shalih pada waktu lalai itu lebih berat bagi jiwa. Dan di
antara sebab keutamaan suatu amalan adalah kesulitannya/beratnya terhadap jiwa
karena amalan apabila banyak orang yang melakukannya maka akan menjadi mudah,
dan apabila banyak yang melalaikannya akan menjadi berat bagi orang yang
terjaga. Dalam shahih Muslim No. 2948 dari hadits Ma’qal bin Yassar: “Ibadah
ketika harj sepeti hijarah kepadaku.” Yakni ketika terjadinya fitnah, karena
manusia mengikuti hawa nafsunya sehingga orang yang berpegang teguh akan
melaksanakan amalan dengan sulit/berat.
Ahli
ilmu telah berselisih pendapat tentang sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban ke dalam beberapa perkataan:
1.
Beliau disibukkan puasa tiga hari setiap bulan karena safar atau hal lainnya.
Maka beliau mengumpulkannya dan mengqadha’nya (menunaikannya) pada bulan
Sya’ban. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amalan sunah maka beliau
menetapkannya dan apabila terlewat maka beliau mengqadha’nya.
2.Dikatakan
bahwa istri-istri beliau membayar hutang puasa Ramadhannya pada bulan Sya’ban
sehingga beliaupun ikut berpuasa karenanya. Dan ini kebalikan dengan apa yang
datang dari ‘Aisyah bahwa dia mengakhirkan untuk membayar hutang puasanya
sampai bulan Sya’ban karena sibuk (melayani) Rasulullah.
3.Dan
dikatakan bahwa beliau shallallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa karena pada bulan itu manusia lalai
darinya. Dan pendapat ini yang lebih kuat karena adanya hadits Usamah yang
telah disebutkan tadi yang tercantum di dalamnya: “Itulah bulan yang manusia
lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan.” (HR. Nasa’i. Lihat Shahihut Targhib
wat Tarhib hlm. 425).
Dan
adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam apabila masuk bulan
Sya’ban sementara masih tersisa puasa sunah yang belum dilakukannnya, maka
beliau mengqadha’nya pada bulan tersebut sehingga sempurnalah puasa sunah
beliau sebelum masuk Ramadhan –sebagaiman halnya apabila beliau terlewat
sunah-sunah shalat atau shalat malam maka beliau mengqadha’nya-. Dengan
demikian ‘Aisyah waktu itu mengumpulkan qadha’nya dengan puasa sunahnya beliau.
Maka ‘Aisyah mengqadha’ apa yang wajib baginya dari bulan Ramadhan karena dia
berbuka lantaran haid dan pada bulan-bulan lain dia sibuk (melayani) Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Maka wajib untuk diperhatikan dan
sebagai peringatan bagi orang yang masih punya utang puasa Ramadhan sebelumnya
untuk membayarnya sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Dan tidak boleh
mengakhirkan sampai setelah Ramadhan berikutnya kecuali karena dharurat,
misalnya udzur yang terus berlanjut sampai dua Ramadhan. Maka barang siapa yang
mampu untuk mengqadha’ sebelum Ramadhan tetapi tidak melakukannya maka wajib
bagi dia di samping mengqadha’nya setelah bertaubat sebelumnya untuk memberi
makan orang-orang miskin setiap hari, dan ini adala perkataannya Malik,
Asy-Syafi’i dan Ahmad.
Demikian
juga termasuk faedah dari puasa di bulan Sya’ban adalah bahwa puasa ini
merupakan latihan untuk puasa Ramadhan agar tidak mengalami kesulitan dan berat
pada saatnya nanti. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadhan dalam
keadaan kuat dan bersemangat.
Dan
oleh karena Sya’ban itu merupakan pendahuluan bagi Ramadhan maka di sana ada
pula amalan-amalan yang ada pada bulan Ramadhan seperti puasa, membaca
Al-Qur’an, dan shadaqah. Berkata Salamah bin Suhail: “Telah dikatakan bahwa
bulan Sya’ban itu merupakan bulannya para qurra’ (pembaca Al-Qur’an).” Dan
adalah Habib bin Abi Tsabit apabila masuk bulan Sya’ban dia berkata: “Inilah
bulannya para qurra’.” Dan ‘Amr bin Qais Al-Mula’i apabila masuk bulan Sya’ban
dia menutup tokonya dan meluangkan waktu (khusus) untuk membaca Al-Qur’an.
Puasa pada Akhir bulan
Sya’ban
Telah
tsabit dalam Shahihain dari ‘Imran bin Hushain bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda: “Apakah engkau berpuasa pada
sarar (akhir) bulan ini?” Dia berkata: “Tidak.” Maka beliau bersabda: “Apabila
engkau berbuka maka puasalah dua hari.” Dan dalam riwayat Bukhari: “Saya kira
yang dimaksud adalah bulan Ramadhan.” Sementara dalam riwayat Muslim: “Apakah
engkau puasa pada sarar (akhir) bulan Sya’ban?” (HR. Bukhari 4/200 dan Muslim
No. 1161).
Telah
terjadi ikhtilaf dalam penafsiran kata sarar dalam hadits ini, dan yang masyhur
maknanya adalah akhir bulan. Dan dikatakan sararusy syahr dengan mengkasrahkan
sin atau memfathahkannya dan memfathahkannya ini yang lebih benar. Akhir bulan
dinamakn sarar karena istisrarnya bulan (yakni tersembunyinya bulan).
Apabila
seseorang berkata, telah tsabit dalam Shahihain dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam,
beliau bersabda: “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau
dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah.” (HR.
Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082), maka bagimana kita mengkompromikan hadits
anjuran berpuasa (Hadits ‘Imran bin Hushain tadi) dengan hadits larangan ini?
Berkata
kebanyakan ulama dan para pensyarah hadits: Sesungguhnya orang yang ditanya
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam ini telah diketahui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa dia ini terbiasa
berpuasa atau karena dia punya nadzar sehingga diperintahkan untuk membayarnya.
Dan
dikatakan bahwa dalam masalah ini ada pendapat lain, dan ringkasnya bahwa puasa
di akhir bulan Sya’ban ada pada tiga keadaan:
1.Berpuasa
dengan niat puasa Ramadhan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk
bulan Ramadhan. Puasa seperti ini hukumnya haram.
2.Berpuasa
dengan niat nadzar atau mengqadha’ Ramadhan yang lalu atau membayar kafarah
atau yang lainnya. Jumhur ulama membolehkan yang demikian.
3.Berpuasa
dengan niat puasa sunah biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara
Sya’ban dan Ramadhan dengan berbuka membenci hal yang demikian, di antaranya
adalah Hasan Al-Bashri –meskipun sudah terbiasa berpuasa- akan tetapi Malik
memberikan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa.
Asy-Syafi’i, Al-Auzai’, dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang
terbiasa dengan yang tidak.
Secara
keseluruhan hadits Abu Hurairah tadilah yang digunakan oleh kebanyakan ulama.
Yakni dibencinya mendahului Ramadhan dengan puasa sunah sehari atau dua hari
bagi orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya
dengan puasa pada bulan Sya’ban yang terus-menerus bersambung sampai akhir
bulan.
Apabila
seseorang berkata, kenapa puasa sebelum Ramadhan secara langsung ini dibenci
(bagi orang-orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa sebelumnya)? Jawabnya
adalah karena dua hal:
Pertama:
agar tidak menambah puasa Ramadhan pada waktu yang bukan termasuk Ramadhan,
sebagaimana dilarangnya puasa pada hari raya karena alasan ini, sebagai langkah
hati-hati/peringatan dari apa yang terjadi pada ahli kitab dengan puasa mereka
yaitu mereka menambah-nambah puasa mereka berdasarkan pendapat dan hawa nafsu
mereka. Atas dasar ini maka dilaranglah puasa pada yaumusy syak (hari yang
diragukan). Berkata Umar: Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia
telah bermaksiat kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Dan
hari syak adalah hari yang diragukan padanya apakah termasuk Ramadhan atau
bukan yang disebabkan karena adanya khabar tentang telah dilihatnya hilal
Ramadhan tetapi khabar ini ditolak. Adapun yaumul ghaim (hari yang mendung
sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum maka di antara
ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasaa padanya.
Dan ini adalah perkataaan kebanyakan ulama.
Kedua:
Membedakan antara puasa sunah dan wajib. Sesungguhnya membedakan antara fardlu
dan sunah adalah disyariatkan. Oleh karenanya diharamkanlah puasa pada hari
raya (untuk membedakan antara puasa Ramadhan yang wajib dengan puasa pada bulan
Syawwal yang sunnah). Dan Rasulullah melarang untuk menyambung shalat wajib
dengan dengan shalat sunah sampai dipisahkan oleh salam atau pembicaraan.
Terlebih-lebih shalat sunah qabliyah Fajr (Shubuh) maka disyari’atkan untuk
dipisahkan/dibedakan dengan shalat wajib. Karenanya disyariatkan untuk
dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat sesudahnya. Dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika melihat ada yang sedang shalat
qabliyah kemudian qamat dikumandangkan, beliau berkata kepadanya: “Apakah
shalat shubuh itu empat rakaat?” (HR. Bukhari No.663).
Barangkali
sebagian orang yang jahil mengira bahwasanya berbuka (tidak berpuasa) sebelum
Ramadhan dimaksudkan agar bisa memenuhi semua keinginan (memuaskan nafsu) dalam
hal makanan sebelum datangnya larangan dengan puasa. Ini adalah salah/keliru
dan merupakan kejahilan dari orang yang berparasangka seperti itu. Wallahu
ta’ala a’lam.
Maraji’: Lathaaiful Ma’arif
fi ma Limawasimil ‘Aami minal Wadhaaif, Ibnu Rajab Al-Hambali.
Al-Ilmam bi Syai’in min
Ahkamish Shiyam, ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rajihi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar