Senin, 30 Juni 2014

ADA APA DENGAN PUASA KITA


ADA APA DENGAN PUASA KITA

1.        Lho ramadhan sudah mau datang to? kayaknya baru kemaren deh puasa, masa udah puasa lagi? Begitu mungkin yang terlintas dibenak kita ketika menjelang kedatangan bulan  ramadhan. Puasa datang artinya siap-siap lapar dan haus di siang hari, badan lemas tidak bergairah, mulut asam karena harus nahan makan, ngemil, minum, di siang hari, yang selama ini selalu kita penuhi.  Bahkan tidak jarang kita meng-create acara atau kegiatan sehingga kita bisa makan-makan enak di siang hari bersama teman-teman.  Makan bukan lagi sekedar memenuhi kebutuhan fisik agar tetap bisa terjaga kebugarannya tetapi sudah mengarah untuk melayani keinginan nafsu yang tidak pernah berhenti.  Semboyannya adalah hidup untuk makan, bukan makan untuk hidup.  Pertanyaannya sudah bukan lagi hari ini apa makan?  tetapi sudah meningkat menjadi hari ini makan apa?  atau meningkat lagi menjadi hari ini makan dimana? atau bahkan yang lebih sadis dan berbahaya hari ini makan siapa?

2.        Jika hanya merasakan lapar dan haus, trus apa manfaatnya kita berpuasa?  
Lapar dan haus adalah masalah fisik sehingga manfaat secara langsung yang bisa dirasakan adalah juga yang terkait dengan fisik.  Misalnya, karena asupan karbohidrat dan lemak berkurang maka potensi terjadinya obesitas juga berkurang, kolesterol bisa agak menjauh dari darah, sistem metabolisme tubuh mengalami fasa perbaikan, hipertensi jadi lebih terkontrol, gula darah akan stabil, proses detoksifikasi berjalan.  Makanya tidaklah mengherankan jika puasa itu identik dengan sehat, shumu tasihu.  Jika ingin sehat, resep sederhananya adalah silakan puasa. Soal selama puasa badan menjadi lemah, lesu, letih, lelah, lemas, lunglai, layu, sepertinya hanya masalah kebiasaan.  Jika puasanya hanya di saat ramadhan saja mungkin memang demikianlah yang terjadi.  Tetapi coba kita tanyakan kepada teman-teman kita yang sudah mendawwamkan puasa senin kamis, puasa awal-tengah-akhir bulan, puasa dawud, pasti jawabannya biasa aja tuh.  Tinggal bagaimana kita mengubah mindset dan pola makan, yang biasanya pagi-siang-malam, menjadi malan-dini hari.  Ini baru soal manfaat puasa dari segi fisik.  Yang justru lebih besar dan hebat adalah manfaat secara psikis, kejiwaan, ruhani, sikap mental, keimanan, dan ketaqwaan.

3.        Melihat anak-anak dan adik-adik kita semangat melaksanakan puasa, rasanya kita sebagai orang yang lebih dewasa patut bersyukur sekaligus prihatin.  Bersyukur karena di usia yang masih belia mereka mampu berkomitmen terhadap dirinya sendiri untuk berjuang menahan lapar, haus, lemas, keinginan jajan, keinginan main selama seharian penuh sepanjang bulan ramadhan. Walaupun mungkin ada satu dua diantara mereka yang mencuri-curi kesempatan di luar pengawasan kita untuk sekedar jajan tetapi kita yakin bahwa sebagian besar masih berusaha menyelesaikan puasa sampai maghrib.  Ada rona kebanggaan di wajah-wajah bersahaja dan polos mereka ketika waktu berbuka tiba dan rasa letih, lesu, lapar terbayar sudah dengan segelas es cendol, sepotong roti dan ditambah kemeriahan suasana sore hari di masjid-masjid dan musholla-musholla.  Tempat favorit yang menjadi ajang silaturahim yang tak mengenal batas, melepas sekat, dan menyisihkan perbedaan, tersaji secara natural dan tanpa pretensi apa-apa.  Mereka telah berhasil mengalahkan syetan-syetan penggoda yang menggelitik hati dan kemauan untuk mencoba menafikan arti penting puasa dalam konteks menahan lapar, haus dan tetap tegar untuk melawan letih dan lesu.   begitulah kegembiraan yang menyelimuti hati dan pikiran anak-anak kita.

4.        Di sisi lain kita juga sangat layak untuk prihatin ketika memperhatikan bagaimana kualitas puasa kita sendiri.  Rasanya kita tidak akan rela jika puasa yang kita lakukan kualitasnya dinilai sama saja dengan puasanya anak-anak dan adik-adik kita.  Tetapi jika yang bisa kita laksanakan hanya sekedar menahan lapar dan haus, trus apa bedanya dengan mereka.  Ketika mulut kita masih juga belum bisa berhenti untuk menggunjing atau mengumpat, ketika mata kita masih saja jelalatan melihat aurat orang lain, ketika telinga kita lebih suka mendengarkan gosip-gosip murahan, ketika hati kita terus saja mempertanyakan keadilan Allah, tidak mau bersyukur atas seluruh nikmat yang telah diterima, tidak bisa shabar dengan segala macam ujian dan cobaan yang diterima.  Kalo demikian trus apa bedanya kita dengan anak-anak? Padahal umur sudah pasti lebih banyak, pengalaman hidup pasti lebih luas, ilmu lebih mumpuni, keterampilah lebih lihai, tapi kelakuan? Marilah kita mohon ampun kepada-Nya, semoga Dia Yang Maha Lembut memberikan anugerah kelembutan hati dan keteguhan jiwa untuk senatiasa istiqomah meniti jalanNya.

Tidak ada komentar: