ADA APA DENGAN PUASA KITA
1.
Lho ramadhan sudah mau datang to? kayaknya baru
kemaren deh puasa, masa udah puasa lagi? Begitu mungkin yang terlintas dibenak
kita ketika menjelang kedatangan bulan ramadhan. Puasa datang artinya siap-siap lapar
dan haus di siang hari, badan lemas tidak bergairah, mulut asam karena harus
nahan makan, ngemil, minum, di siang hari, yang selama ini selalu kita
penuhi. Bahkan tidak jarang kita meng-create acara atau
kegiatan sehingga kita bisa makan-makan enak di siang hari bersama
teman-teman. Makan bukan lagi sekedar
memenuhi kebutuhan fisik agar tetap bisa terjaga kebugarannya tetapi sudah
mengarah untuk melayani keinginan nafsu yang tidak pernah berhenti. Semboyannya adalah hidup untuk makan, bukan
makan untuk hidup. Pertanyaannya sudah
bukan lagi hari ini apa makan? tetapi sudah meningkat menjadi hari ini makan apa? atau meningkat lagi menjadi hari ini makan dimana? atau bahkan yang
lebih sadis dan berbahaya hari ini makan
siapa?
2. Jika hanya merasakan lapar dan haus, trus apa
manfaatnya kita berpuasa?
3.
Melihat
anak-anak dan adik-adik kita semangat melaksanakan puasa, rasanya kita sebagai
orang yang lebih dewasa patut bersyukur sekaligus prihatin. Bersyukur karena di usia yang masih belia
mereka mampu berkomitmen terhadap dirinya sendiri untuk berjuang menahan lapar,
haus, lemas, keinginan jajan, keinginan main selama seharian penuh sepanjang
bulan ramadhan. Walaupun mungkin ada satu dua diantara mereka yang mencuri-curi
kesempatan di luar pengawasan kita untuk sekedar jajan tetapi kita yakin bahwa
sebagian besar masih berusaha menyelesaikan puasa sampai maghrib. Ada rona kebanggaan di wajah-wajah bersahaja
dan polos mereka ketika waktu berbuka tiba dan rasa letih, lesu, lapar terbayar
sudah dengan segelas es cendol, sepotong roti dan ditambah kemeriahan suasana
sore hari di masjid-masjid dan musholla-musholla. Tempat favorit yang menjadi ajang silaturahim
yang tak mengenal batas, melepas sekat, dan menyisihkan perbedaan, tersaji
secara natural dan tanpa pretensi apa-apa.
Mereka telah berhasil mengalahkan syetan-syetan penggoda yang menggelitik
hati dan kemauan untuk mencoba menafikan arti penting puasa dalam konteks
menahan lapar, haus dan tetap tegar untuk melawan letih dan lesu. begitulah kegembiraan yang menyelimuti hati
dan pikiran anak-anak kita.
4.
Di
sisi lain kita juga sangat layak untuk prihatin ketika memperhatikan bagaimana
kualitas puasa kita sendiri. Rasanya
kita tidak akan rela jika puasa yang kita lakukan kualitasnya dinilai sama saja
dengan puasanya anak-anak dan adik-adik kita.
Tetapi jika yang bisa kita laksanakan hanya sekedar menahan lapar dan
haus, trus apa bedanya dengan mereka.
Ketika mulut kita masih juga belum bisa berhenti untuk menggunjing atau
mengumpat, ketika mata kita masih saja jelalatan melihat aurat orang lain,
ketika telinga kita lebih suka mendengarkan gosip-gosip murahan, ketika hati
kita terus saja mempertanyakan keadilan Allah, tidak mau bersyukur atas seluruh
nikmat yang telah diterima, tidak bisa shabar dengan segala macam ujian dan
cobaan yang diterima. Kalo demikian trus
apa bedanya kita dengan anak-anak? Padahal umur sudah pasti lebih banyak,
pengalaman hidup pasti lebih luas, ilmu lebih mumpuni, keterampilah lebih
lihai, tapi kelakuan? Marilah kita mohon ampun kepada-Nya, semoga Dia Yang Maha
Lembut memberikan anugerah kelembutan hati dan keteguhan jiwa untuk senatiasa
istiqomah meniti jalanNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar